Review The Girl On The Train: Problem Tiga Wanita - WISATA SURYA

Latest

Tempat wisata, Hotel, Kuliner informasi

Senin, 22 Januari 2018

Review The Girl On The Train: Problem Tiga Wanita

 seorang alkoholik dan menderita depresi berat Review The Girl on The Train: Dilema Tiga Wanita


Rachel, seorang alkoholik dan menderita depresi berat. Hidupnya tidak lagi mempunyai tujuan semenjak suaminya meninggalkannya demi perempuan lain.

Setiap hari, Rachel bepergian memakai kereta. Di dalam kereta, ia selalu melihat ke arah luar. Rumah-rumah berderetan, menampilkan kehidupan penghuninya, penuh tawa, dan kebahagiaan. Hal yang tidak pernah ia dapatkan. Matanya selalu tertuju pada sebuah rumah di mana sepasang kekasih, entah suami isteri, selalu terlihat mesra dan saling menyayangi satu sama lain, Megan dan Scott.
Waktu berjalan, Rachel mulai merasa adanya “keterikatan” dengan Megan dan Scott. Di sebelah rumah mereka, hidup pula sepasang suami isteri dengan bayi mereka, Tom dan Anna yang tidak lain yakni mantan suami Rachel dengan isteri barunya. Kebahagiaan terlihat selalu menyelimuti keluarga kecil tersebut.

Suatu hari, Rachel mendengar kabar kalau Megan menghilang. Ia merasa hal tersebut berkaitan dengan dirinya. Kondisi tersebut menuntun Rachel menyelami kehidupan-kehidupan Megan dan Scott, bahkan ia ikut menjadi saksi kasus hilangnya Megan. Rachel pun tidak pernah mengira bahwa dirinya sekarang menjadi bab dari kehidupan Megan dan sang suami, meski dengan keadaan yang berbeda.

 seorang alkoholik dan menderita depresi berat Review The Girl on The Train: Dilema Tiga Wanita

Novel yang ditulis Paula Hawkins ini dikisahkan dari tiga perspektif, Rachel, Megan dan Anna. Unik, namun alur ceritanya tetap gampang dipahami. Penggambaran depresi yang dialami sanggup kita rasakan dalam “aku” dalam perspektif masing-masing karakter, dari awal sampai final cerita. Mulai dari kisah klasik munculnya orang ketiga dalam suatu hubungan, dan bagaimana dongeng dari sudut pandang “orang ketiga” tersebut dikisahkan.

Dengan penggambaran yang detail, novel peraih Goodreads Choice Award untuk Best Mystery & Thriller, bisa “mempemainkan” emosi pembaca. Kita juga bisa mencicipi kesedihan dan depresi yang dirasakan karakter-karakter, khususnya Rachel. Sebagai pembaca, saya juga merasa sangat ingin tau untuk segera menuntaskan membaca novel tersebut sehingga mengetahui ending dari cerita.

Film The Girl on The Train Kuasai Puncak Box Office

 seorang alkoholik dan menderita depresi berat Review The Girl on The Train: Dilema Tiga Wanita

Baru-baru ini saya juga menonton film “The Girl on The Train”. Disutradarai Tate Taylor, sosok Rachel, Megan, dan Anna digambarkan sebagai wanita-wanita beparas menawan dan perawakan yang bahenol nan seksi. Untuk alur ceritanya, tidak begitu berbeda dengan novel-nya. Namun begitu, kecepatan alur di dalam film lebih lambat dibanding di dalam novel. Ada bagian-bagian di mana seharusnya bisa diberikan penggambaran lebih detail akan tokoh-tokohnya, tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sutradara.

Di final dongeng – versi film – saya merasa kurang sreg. Karena dikala membaca bukunya saya lebih merasa tegang dibandingkan dikala melihatnya dalam film.

Aktris Emily Blunt didapuk sebagai Rachel. Namun, huruf yang ia bawakan dan acting-nya  kurang kuat. Film mystery thriller yang seharusnya menegangkan dan “gelap” tidak begitu terlihat. Rotten Tomatoes juga hanya menunjukkan nilai 44% saja. Sangat berbeda dengan prestasi novelnya, yang mendapat nilai sampai 3,9 dari 5 oleh Goodreads.

Meskipun demikian, di Amerika Serikat, film The Girl on The Train sempat memuncaki Box Office mengalahkan Miss Peregrine’s Home For Peculiar Children, dengan pendapatan USD 24,7 juta.

"The holes in your life are permanent. You have to grow around them, like tree roots around concrete; you mould yourself through the gaps," -Paula Hawkins

Tidak ada komentar:

Posting Komentar