Nah jikalau yang perempuan ikut suami menjadi warga negara suaminya mungkin sudah sangat wajar, nah bagaimana jikalau kebalikan dari hal tersebut, dimana sang suami malah berpindah mengikuti sang istri yang dari Bali. Bukan hanya sekedar tinggal di Bali, bahkan si Bule juga ikut menjadi warga Bali mulai dari pindah Agama dan menjadi warga Indonesia untuk tinggal di Bali. Saat ini mungkin sudah banyak Bule yang menetap menjadi warga Bali, ada bule yang jadi orang Bali sesudah usang tinggal di Bali, dan menikah dengan warga lokal Bali, ada juga yang menetapkan pilihan bahkan sebelum berkunjung ke pulau ini dan tidak sedikit diantara mereka yang hingga pindah kewarganegaraan, ‘me-suddhi-wadani’, menjadi krama ‘banjar’ (dinas dan adat) dengan segala hak dan kewajibannya, dan minta diaben di Bali kelak dikala meninggal.
Faktanya, jumlah orang bule yang menetap dan menjadi orang Bali sangat banyak, menyebar mulai dari ujung selatan (Nusa Dua dan Jimbaran) hingga ke ujung Utara pulau Bali (Lovina dan Pemuteran), mulai dari ujung Barat (Pekutatan dan Jembrana) hingga ujung Timur pulau (Tulamben, Karangasem.) nah kira-kira apa alasan para Bule tersebut berpindah menjadi Warga Indonesia terutama Bali? Berikut yakni 5 macam alasan yang menciptakan bule menentukan jadi Orang Bali yang saya olah dari Popbali.com:
1. Jatuh Cinta Pada Orang Bali
Seorang bule jatuh cinta pada wanita/pria Bali, menikah kemudian menjadi orang Bali, yakni fenomena yang paling banyak terjadi, mungkin semenjak jaman Belanda beberapa ratus tahun yang lalu. Cinta dan asmara, tak mengenal suku bangsa, ras, agama dan golongan. Kebutuhan dasar insan yang tidak sanggup ditunda, diubah, apalagi dimanipulasi atau ditolak begitu saja. Pesona perempuan dan laki-laki Bali di mata laki-laki dan perempuan bule, sudah banyak diungkapkan di aneka macam media. Beberapa dongeng asmara mereka ada yang hingga melegenda, menghias majalah-majalah luar negeri, menginspirasi para penulis buku, dan menjadi buah bibir masyarakat dunia selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Sebut saja dongeng asmara Antonio Blanco dengan Ni Ronji misalnya, yang menciptakan pelukis asal Spanyol ini rela menetap dan menjadi orang Bali, hingga diaben dikala meninggal.
Kisah melegenda lainnya yakni antara Le Mayeur, seniman asal Swedia dengan Ni Pollok, yang namanya masih tertulis terang di Museum Le Mayeur yang berlokasi di Sanur.
Antonio Blanco dan Le Mayeur tentu hanya 2 diantara puluhan atau mungkin ratusan orang bule yang jatuh cinta pada perempuan Bali, kemudian menjadi orang Bali. Dan tak sedikit juga perempuan bule yang jatuh cinta dengan laki-laki Bali, melakoni proses ‘Suddhi Wadani’ (mengukuhkan diri sebagai penganut Hindu), upakara ‘pawiwahan’ (pernikahan), dan kesannya menjadi orang Bali seutuhnya, terlepas apakah tinggal di dalam atau luar Bali
Kisah melegenda lainnya yakni antara Le Mayeur, seniman asal Swedia dengan Ni Pollok, yang namanya masih tertulis terang di Museum Le Mayeur yang berlokasi di Sanur.
Antonio Blanco dan Le Mayeur tentu hanya 2 diantara puluhan atau mungkin ratusan orang bule yang jatuh cinta pada perempuan Bali, kemudian menjadi orang Bali. Dan tak sedikit juga perempuan bule yang jatuh cinta dengan laki-laki Bali, melakoni proses ‘Suddhi Wadani’ (mengukuhkan diri sebagai penganut Hindu), upakara ‘pawiwahan’ (pernikahan), dan kesannya menjadi orang Bali seutuhnya, terlepas apakah tinggal di dalam atau luar Bali
2. Jatuh Cinta Pada Keindahan Alam Bali
Bule menjadi orang Bali sebab mendapat jodoh orang Bali, mungkin fenomena yang paling banyak. Bisa dikenali dengan gampang ketika melihat laki-laki Bule menggendong anak didampingi oleh perempuan Bali atau laki-laki Bali menggendong anak kebule-bulean dan didampingi oleh perempuan bule, di ruang-ruang publik. Tak kalah banyaknya yakni pria/wanita bule yang berpasangan dengan bule lainnya, dan menjadi orang Bali. Ini sanggup ditemukan di Ubud contohnya atau di kawasan dataran tinggi ibarat Bedugul atau Bangli. Banyak juga yang tinggal di daerah-daerah urban ibarat Kuta, Legian, Kerobokan, Seminyak, Jimbaran, Sanur atau Canggu.Mereka menentukan jadi orang Bali bukan sebab jatuh cinta pada orang Bali, melainkan sebab jatuh cinta pada keindahan alam Bali. Bule yang ibarat ini biasanya turut aktif mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian alam, mereka tidak ingin Bali menjadi rusak, entah dengan bergerak sendiri atau tolong-menolong dalam organisasi tertentu (LSM misalnya.) Keindahan Bali yang sering digambarkan sebagai “alam yang masih perawan”, bahenol dan menawan hati, sudah populer di seluruh penjuru dunia. Jatuh cinta pada keindahan alam Bali yakni alasan paling lumrah kedua sesudah jatuh cinta pada orang Bali.
3. Jatuh Cinta Pada Pola, Orientasi dan Gaya Hidup Orang Bali
Bule, semenjak nenek moyangnya sudah terbiasa dengan kehidupan serba kompleks, dimana sebagian besar waktu mereka habiskan untuk mengejar ambisi. Dua dasawarsa belakangan ini mereka sudah mulai bosan dengan yang namanya ‘tactic’, ‘multi-tasking’, ‘burnout.’ Mereka sudah mulai muak dengan “assertive no”, sudah bosan dengan kerja yang serba berpamrih. Bule sudah kenyang dengan semua itu.Mereka berlibur ke Bali, berinteraksi dengan orang Bali, kemudian jatuh cinta. (Perhatikan kehangatan interaksi antara gadis bule dengan odah dari Kintamani di bawah ini)
Itu banyak terjadi sebelum tahun 90-an, pada dikala pola, orientasi dan gaya hidup orang Bali masih sederhana, jujur, dan peduli terhadap orang lain, ‘paras-paros selulung sebayantaka’. Pada dikala orang Bali masih lebih sering bilang “nggih” (iya) dibandingkan bilang “No” (tidak). Ketika orang Bali lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjalankan “swadarma” (mengikuti perputaran karma) ketimbang saling-sikut.
‘Pola orientasi dan gaya hidup’ orang Bali yang ibarat itu, dalam pandangan bule, tidak sekedar baik, melainkan indah, menawan, dan menyentuh sanubari. Mereka tergugah dan jatuh cinta pada ‘pola orientasi dan gaya hidup’ orang Bali yang indah itu, kemudian menetapkan untuk menghabiskan sisa hidupnya di Bali, bersama orang-orang sederhana, berada di lingkungan orang-orang jujur, dan berdampingan dengan orang-orang yang peduli terhadap orang lain.
‘Pola orientasi dan gaya hidup’ orang Bali yang ibarat itu, dalam pandangan bule, tidak sekedar baik, melainkan indah, menawan, dan menyentuh sanubari. Mereka tergugah dan jatuh cinta pada ‘pola orientasi dan gaya hidup’ orang Bali yang indah itu, kemudian menetapkan untuk menghabiskan sisa hidupnya di Bali, bersama orang-orang sederhana, berada di lingkungan orang-orang jujur, dan berdampingan dengan orang-orang yang peduli terhadap orang lain.
4. Jatuh Cinta Pada Yoga dan Spritualitas Orang Bali
Di tengah contoh hidup yang penuh tekanan, bule semakin menyadari bahwa antibiotik dan obat modern lainnya hanya solusi jangka pendek, dan menimbulkan ekses (buruk) dalam jangka panjang. Sementara, hiruk-pikuk hiburan di kota metropolitan tak lebih dari sebuah pelarian sementara, stress tiba lagi begitu mereka kembali ke rutinitas sehari-hari. Mendatangi rumah ibadah agama yang dianut juga tak banyak mengubah keadaan, mereka tetap merasa kosong, kering dan haus akan “sesuatu.” Mereka pergi mencari “sesuatu” itu ke wilayah selatan bumi ini, ada yang ke Mexico, ada yang ke Peru, ada yang ke India, ada yang ke Tibet, ada yang ke Jepang, dan ada yang ke Bali. Itulah awal kesadaran para bule akan keistimewaan spiritualitas Hindu dan Budha, secara umum, kemudian bermetamorfosis musim gaya hidup ‘minimalism and obscurity‘ yang banyak diadopsi oleh kaum urban di dunia Barat sana. Sebuah gaya hidup yang menikmati kesederhanaan, sedanya, dan melupakan masa kemudian tanpa perlu mengkhawatirkan masa depan. titik-balik dari hedonisme yang sempat menjangkiti Orang Barat selama berabad-abad semenjak revolusi indutri di Inggris Raya sana.
Sebut saja Steve Jobs atau pemeran ganteng Richard Gere misalnya.
Petuah Swami Vivekananda (seorang penulis sastra Hindu populer dari India) menjadi semacam “Daily Bread” gres bagi mereka.
Deepak Chopra Center selalu dibanjiri oleh Yogis-Yogis gres berambut pirang.
Mereka memerlukan spritualitas yang tidak semata-mata mengajarkan perihal “surga-dan-neraka”, yang tidak semata-mata mengandung perintah dan doktrin, melainkan mengajarkan mereka perihal cara hidup. Dan mereka menemukan itu di Hindu, ibarat yang mereka katakan, “that not only a religion; rather, it is a way of life.” Sebuah cara hidup yang tidak saja menciptakan mereka lebih sehat, melainkan juga lebih tenang, tenang secara rohani, sekaligus lebih bergairah.
Yang agak unik yakni fenomena dimana seorang bule Hawaii beristrikan orang Amerika keturunan Jepang, mendapat wangsit untuk menjadi seorang ‘Pemangku’ (pengantar doa) di salah satu pura di Tabanan. Dia terhubung dengan Bali, secara spiritual, jauh sebelum berkunjung untuk pertamakalinya. Si bule yang satu ini, berdasarkan pengakuannya, hingga bikin sanggah dan pura di Hawaii sana.
Bule yang menjadi orang Bali sebab ketertarikan spiritualitas, sanggup dikenali dengan melihat Pura yang cukup besar di rumahnya (semacam pemerajan alit yang terdiri dari Padmasana, dan beberapa Pelinggih saja—tanpa Meru), lengkap dengan ‘lebuh’ yang selalu berisi ‘canang’ dan ‘nasi pengeluar’ setiap sore, serta mempunyai kamar suci untuk bermeditasi.
Banyak bule yang jatuh cinta pada itu dan berkeinginan untuk menyalurkan kreatifitas dan karya seni orang Bali ke pasar-pasar mancanegara, kemudian mendirikan perusahaan dagang (trading company) dan distributor perdagangan (trading agency).
Sebut saja Steve Jobs atau pemeran ganteng Richard Gere misalnya.
Petuah Swami Vivekananda (seorang penulis sastra Hindu populer dari India) menjadi semacam “Daily Bread” gres bagi mereka.
Deepak Chopra Center selalu dibanjiri oleh Yogis-Yogis gres berambut pirang.
Mereka memerlukan spritualitas yang tidak semata-mata mengajarkan perihal “surga-dan-neraka”, yang tidak semata-mata mengandung perintah dan doktrin, melainkan mengajarkan mereka perihal cara hidup. Dan mereka menemukan itu di Hindu, ibarat yang mereka katakan, “that not only a religion; rather, it is a way of life.” Sebuah cara hidup yang tidak saja menciptakan mereka lebih sehat, melainkan juga lebih tenang, tenang secara rohani, sekaligus lebih bergairah.
Yang agak unik yakni fenomena dimana seorang bule Hawaii beristrikan orang Amerika keturunan Jepang, mendapat wangsit untuk menjadi seorang ‘Pemangku’ (pengantar doa) di salah satu pura di Tabanan. Dia terhubung dengan Bali, secara spiritual, jauh sebelum berkunjung untuk pertamakalinya. Si bule yang satu ini, berdasarkan pengakuannya, hingga bikin sanggah dan pura di Hawaii sana.
Bule yang menjadi orang Bali sebab ketertarikan spiritualitas, sanggup dikenali dengan melihat Pura yang cukup besar di rumahnya (semacam pemerajan alit yang terdiri dari Padmasana, dan beberapa Pelinggih saja—tanpa Meru), lengkap dengan ‘lebuh’ yang selalu berisi ‘canang’ dan ‘nasi pengeluar’ setiap sore, serta mempunyai kamar suci untuk bermeditasi.
5. Jatuh Cinta Pada Kreatifitas dan Kesenian Orang Bali
Oleh bule, masyarakat Bali dikenal sebagai orang-orang yang kreatif dan mempunyai bakat seni menghasilkan aneka macam macam produk seni dan kerajinan tangan yang tak ada duanya di dunia, dalam hal keunikan, hanya dengan memakai alat sederhana.Banyak bule yang jatuh cinta pada itu dan berkeinginan untuk menyalurkan kreatifitas dan karya seni orang Bali ke pasar-pasar mancanegara, kemudian mendirikan perusahaan dagang (trading company) dan distributor perdagangan (trading agency).
Kesibukan mereka mengkanalkan hasil kreatifitas dan seni orang Bali menciptakan para bule lebih banyak tinggal di Bali, berinteraksi dan membina relasi dengan orang Bali. Pertimbangan biaya perjalanan dan akomodasilah yang kesannya menciptakan mereka menetapkan untuk pindah, menetap, dan menjadi potongan dari masyarakat Bali.
Apakah fenomena ‘bule menjadi orang Bali’ yakni sesuatu yang perlu dibanggakan? Terlepas dari duduk masalah perlu atau tidaknya berbangga, beberapa pertanyaan yang mungkin penting untuk kita sebagai orang Bali jawab adalah:
Begitu banyak bule yang menentukan menjadi orang Bali dengan aneka macam alasan, perlukah kita mengubah jati diri menjadi sesuatu yang lain?
Orang bule saja begitu menyayangi kesederhanaan pola, orientasi dan gaya hidup orang Bali bahkan ada yang konon hingga merasa iri dalam konteks positif, perlukah orang Balinya sendiri mengubah itu menjadi sesuatu yang kompleks demi ‘membeli’ gimmick globalisasi dan moderenitas?
Orang bule saja sudah muak dengan kata “Assertive No” yang berimplikasi pada peningkatan stress dan jatuh cinta pada kata “nggih” (iya) yang menyiratkan penerimaan dan koperatifitas perlukan kita mencar ilmu ngotot menyampaikan “tidak” dengan lantang?
Orang bule saja jatuh cinta pada jalan hidup dan spiritualitas orang Bali, perlukah mengubah jalan hidup dan spiritualitas yang sudah kita miliki menjadi sesuatu yang lain?
Orang bule saja menentukan menjadi orang Bali, perlukan kita menjadi orang lain?
Orang bule yang populer diseluruh dunia saja gembira memakai nama Made Wijaya, perlukah kita berganti nama menjadi Michael Jackson semoga diterima oleh komunitas global?
Orang bule saja gembira dan bersyukur telah menentukan jadi orang Bali; tidakkah, setidak-tidaknya, kita perlu bersyukur menjadi orang Bali?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Tetapi Made Wijaya (pria yang ada di foto paling atas goresan pena ini) mungkin tahu.
Ketika ditanya apakah ada rencana pulang ke negeri asalnya, Australia, secara halus, implisit dan cenderung ‘mekulit’ Made Wijaya menyampaikan bahwa ia ingin menghabiskan masa hidupnya di Bali.
Seperti tertulis dalam biografinya, laki-laki kelahiran Sydney yang dahulunya berjulukan Michael White ini mengatakan:
“Bali delivers a special magic that makes us so lucky to be alive”
Made Wijaya yang kini lebih dikenal sebagai jago pertamanan dan arsitek style Bali ini, pertamakali tiba ke Bali (1973) tinggal dan menjalani hidup termasuk mencar ilmu agama Hindu dan budaya Bali di Griya seorang Ida Bagus (brahmana).
Sepuluh tahun tinggal di Bali bersama keluarga barunya, Michael White memantapkan diri untuk menjadi orang Bali dan ganti nama menjadi Made Wijaya, tentu dengan melalui prosesi ‘Suddhi Wadani’ yang waktu itu dipuput oleh Ida Pedanda Ida Bagus Anom, dari Griya Kepaon, Denpasar.
Kepada the Jakarta Post, 2002, laki-laki bule yang sering disebut “lebih Bali dibandingkan orang Balinya sendiri” (karena begitu membumi dan kritis terhadap perubahan budaya Bali yang konon kian jauh dari aslinya) ini pernah menyampaikan bahwa, kelak ia ingin dikenang sebagai “Patih Barong”, seorang patih yang melindungi kebudayaan dan arsitektur Bali.
Apakah fenomena ‘bule menjadi orang Bali’ yakni sesuatu yang perlu dibanggakan? Terlepas dari duduk masalah perlu atau tidaknya berbangga, beberapa pertanyaan yang mungkin penting untuk kita sebagai orang Bali jawab adalah:
Begitu banyak bule yang menentukan menjadi orang Bali dengan aneka macam alasan, perlukah kita mengubah jati diri menjadi sesuatu yang lain?
Orang bule saja begitu menyayangi kesederhanaan pola, orientasi dan gaya hidup orang Bali bahkan ada yang konon hingga merasa iri dalam konteks positif, perlukah orang Balinya sendiri mengubah itu menjadi sesuatu yang kompleks demi ‘membeli’ gimmick globalisasi dan moderenitas?
Orang bule saja sudah muak dengan kata “Assertive No” yang berimplikasi pada peningkatan stress dan jatuh cinta pada kata “nggih” (iya) yang menyiratkan penerimaan dan koperatifitas perlukan kita mencar ilmu ngotot menyampaikan “tidak” dengan lantang?
Orang bule saja jatuh cinta pada jalan hidup dan spiritualitas orang Bali, perlukah mengubah jalan hidup dan spiritualitas yang sudah kita miliki menjadi sesuatu yang lain?
Orang bule saja menentukan menjadi orang Bali, perlukan kita menjadi orang lain?
Orang bule yang populer diseluruh dunia saja gembira memakai nama Made Wijaya, perlukah kita berganti nama menjadi Michael Jackson semoga diterima oleh komunitas global?
Orang bule saja gembira dan bersyukur telah menentukan jadi orang Bali; tidakkah, setidak-tidaknya, kita perlu bersyukur menjadi orang Bali?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Tetapi Made Wijaya (pria yang ada di foto paling atas goresan pena ini) mungkin tahu.
Ketika ditanya apakah ada rencana pulang ke negeri asalnya, Australia, secara halus, implisit dan cenderung ‘mekulit’ Made Wijaya menyampaikan bahwa ia ingin menghabiskan masa hidupnya di Bali.
Seperti tertulis dalam biografinya, laki-laki kelahiran Sydney yang dahulunya berjulukan Michael White ini mengatakan:
“Bali delivers a special magic that makes us so lucky to be alive”
Made Wijaya yang kini lebih dikenal sebagai jago pertamanan dan arsitek style Bali ini, pertamakali tiba ke Bali (1973) tinggal dan menjalani hidup termasuk mencar ilmu agama Hindu dan budaya Bali di Griya seorang Ida Bagus (brahmana).
Sepuluh tahun tinggal di Bali bersama keluarga barunya, Michael White memantapkan diri untuk menjadi orang Bali dan ganti nama menjadi Made Wijaya, tentu dengan melalui prosesi ‘Suddhi Wadani’ yang waktu itu dipuput oleh Ida Pedanda Ida Bagus Anom, dari Griya Kepaon, Denpasar.
Kepada the Jakarta Post, 2002, laki-laki bule yang sering disebut “lebih Bali dibandingkan orang Balinya sendiri” (karena begitu membumi dan kritis terhadap perubahan budaya Bali yang konon kian jauh dari aslinya) ini pernah menyampaikan bahwa, kelak ia ingin dikenang sebagai “Patih Barong”, seorang patih yang melindungi kebudayaan dan arsitektur Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar